Senin, 31 Agustus 2015

MENGENAL BANGSA KURA-KURA


Kura-kura dalam perahu. Itulah peribahasa yang sering kita dengarkan, yang artinya seseorang yang mengetahui sesuatu, tetapi pura-pura tidak tahu.  Namun mestinya yang berada didalam perahu bukan kura-kura tetapi penyu, karena penyu yang hidup didalam air (laut), sedangkan kura-kura hidup di darat. Itulah yang sering membuat kita bingung dan salah. Sehingga peribahasa itu yang lebih pas harusnya : Kura-kura bukanlah penyu.

Dalam bahasa Indonesia, dikenal tiga kelompok hewan yang biasa kita sebut “kura-kura”, yaitu penyu (Inggris : sea turtles), labi-labi atau bulus (freshwater turtles), dan kura-kura (land tortoises) itu sendiri. Ketiganya kadang membuat kita bingung karena kemiripannya sehingga sering tertukar-tukar. Dalam klasifikasi ilmiah, termasuk dalam Klas : Reptilia, Ordo (Bangsa) : Chelonia (Testudinata). Oleh karena itu, para ilmuwan sering menyebut mereka sebagai chelonian (Chelonia dari bahasa Yunani yang berarti kura-kura). Kesamaan ketiganya yang merupakan ciri khas dan mudah dikenali adalah adanya ‘rumah’ atau cangkang (bony shell) yang keras dan kaku. Penyebaran hewan ini di seluruh benua kecuali Antartika. Spesies yang hidup di air ditemukan di laut, rawa, danau air tawar, kolam, dan sungai, sedangkan yang hidup di darat ditemukan di padang pasir, hutan, dan padang rumput. Diperkirakan terdapat 260 spesies kura-kura dari 12-14 suku (familia) yang masih hidup di pelbagai bagian dunia. Di Indonesia sendiri terdapat sekitar 45 spesies dari sekitar 7 suku kura-kura dan penyu.

 Kura-kura Galapagos

 Penyu belimbing

  Labi-labi (bulus)

Seluruh chelonian adalah reptil, memiliki sisik, bertelur, dan ectothermic (berdarah dingin). Perbedaan diantara jenis chelonian berdasarkan habitatnya, sebagai berikut : (1) Spesies akuatik (Turtle = penyu dan labi-labi) ; sebagian besar hidupnya didalam air, sehingga memiliki kaki berselaput untuk berenang. Penyu (keluarga Cheloniidae) telah beradaptasi dengan kaki panjang berbentuk sirip dan tubuh ramping. Mereka jarang meninggalkan laut, kecuali betina kedarat untuk bertelur, meskipun beberapa seperti penyu hijau, keatas karang dan pantai untuk berjemur. Jenis lainnya hidup di air tawar, seperti kolam dan danau. Mereka berenang, tetapi juga memanjat ke tepi sungai, kayu, atau batu untuk berjemur. Bila cuaca dingin, mereka menggali masuk ke dalam lumpur, dalam kondisi mati suri sampai musim semi yang hangat lagi. (2) Spesies darat (Tortoise = kura-kura) ; penghuni daratan, memakan semak yang tumbuh rendah, rumput, dan bahkan kaktus. Kaki tidak berselaput, tetapi bulat dan kekar untuk berjalan didarat. Kura-kura yang hidup di tempat yang panas, habitat kering, menggunakan lengan depannya yang kuat untuk menggali liang. Kemudian, ketika terlalu panas di bawah sinar matahari, mereka masuk ke bawah tanah. (3) Spesies akuatik dan darat (Terrapin) ; hidup baik di darat maupun di air, tetapi selalu tinggal didekat air, di sepanjang sungai, kolam, dan danau. Terrapin sering ditemukan di air payau, di daerah rawa-rawa. Ada pendapat bahwa Terrapin adalah istilah yang digunakan dalam bahasa Inggris untuk beberapa spesies kecil dari penyu yang hidup di air tawar atau payau. Terrapin bukan bentuk unit taksonomi, dan tidak terkait erat, meskipun banyak yang dari famili Geoemydidae dan Emydidae. 

Hal-hal Yang Menarik 

Penyu dan kura-kura adalah kelompok reptil yang sangat tua, sudah ada sekitar 220 juta tahun yang lalu. Dari semua hewan bertulang belakang, hewan ini satu-satunya yang memiliki “rumah” yaitu cangkang, terdiri dari 59-61 tulang ditutupi oleh pelat-pelat yang disebut sisik, yang terbuat dari keratin. Bagian atas cangkang disebut karapas, dan bagian bawah adalah plastron. Kura-kura tidak dapat keluar dari cangkang karena secara permanen melekat pada tulang belakang dan tulang rusuk. Kura-kura bisa merasakan tekanan dan rasa sakit melalui cangkangnya, sama seperti manusia merasakan tekanan di kuku.  Kecuali kelompok labi-labi (Trionychoidea) dan penyu belimbing, yang lapis luarnya tidak bersisik tetapi digantikan lapisan kulit kasar. Labi-labi memiliki cangkang lunak yang terdiri dari tulang rawan. 

Beberapa kura-kura dapat menarik kepala, leher, dan kaki ke dalam cangkang, sehingga dikenal sebagai "kura-kura leher tersembunyi." Untuk membuat ruang di dalam cangkang, mereka harus menghembuskan udara keluar dari paru-paru, yang membuat suara berdesis. Beberapa yang memiliki leher panjang, melindungi kepala dengan menyelipkan ke samping cangkang, sehingga dikenal sebagai "kura-kura leher menyamping." Penyu dan labi-labi tidak dapat menarik leher atau kepalanya ke dalam cangkang. Cangkang kura-kura tidak seberat yang dibayangkan, karena berisi banyak ruang udara kecil yang membuatnya lebih ringan. Penyu belimbing dan jenis dari familia Trionychidae (bercangkang lunak) berbentuk membulat, karapas merata, dan seluruh cangkang tertutup kuat oleh kulit kasar yang didukung oleh tulang-tulang kecil. Elemen tulang pada cangkang berkurang, sehingga menjadi fleksibel untuk berenang dan menyelam. Penyu belimbing menyelam sampai kedalaman 3.000 kaki (900 meter) di bawah permukaan laut, pada kedalaman ini tekanan air yang luar biasa sehingga akan menghancurkan cangkang yang keras dan tubuh yang tidak fleksibel.

Kura-kura termasuk jenis hewan berumur panjang, dapat hidup puluhan tahun, bahkan seekor kura-kura darat dari Kep. Seychelles tercatat hidup selama 152 tahun. Ukurannya bervariasi dari seukuran tangan sampai dengan 2.000 pound (907,2 kilogram). Berdasarkan panjang tubuhnya (biasanya diukur dengan panjang karapas, carapace length/CL), yang terbesar adalah penyu belimbing dengan karapas mencapai 2,4 m. Sementara kura-kura raksasa dari Kep. Galapagos dan Kep. Seychelles hanya 50 inci (127 cm) dengan berat 300 kg. Bulus memiliki ukuran yang lebih kecil walaupun ada labi-labi terbesar yaitu labi-labi Irian, dengan panjang karapas sekitar 51 inci. Sedangkan yang terkecil adalah kura-kura mini dari Afrika Selatan, yang panjang karapasnya tidak melebihi 8 cm.Top of Form

Kura-kura tidak memiliki telinga (ada pendapat memiliki telinga internal), tapi mereka bisa merasakan getaran dan perubahan tekanan air yang memberitahu keberadaan makanan dan predator. Mereka memiliki indra penciuman yang baik untuk menemukan makanan. Kulit penyu atau kura-kura, khususnya kura-kura darat, mungkin terlihat kasar dan keras, tetapi sebenarnya sangat sensitif. Beberapa kura-kura memiliki indera atau naluri belum sepenuhnya kita pahami. Seperti alat yang memungkinkan kemampuan pelacakan, pada penyu yang bermigrasi ribuan mil di laut pada rute yang tetap, dan kembali setiap dua atau tiga tahun ke pantai yang sama untuk bertelur. Penyu memiliki "trik" yang memungkinkan bisa tinggal di bawah air. Beberapa dapat memompa air masuk dan keluar dari mulut dan tenggorokannya, di mana lapisan kaya pembuluh darah mengambil oksigen langsung dari air. Ada yang memompa air terus menerus masuk dan keluar dari kloaka untuk mendapatkan oksigen. Kaki yang besar dan berselaput seperti dayung memungkinkan kura-kura terdorong dan melewati air dengan mudah.

Kura-kura ada yang bersifat pemakan tumbuhan (herbivora), pemakan daging (karnivora) atau campuran (omnivora). Tetapi kebanyakan omnivora, memakan tumbuhan dan hewan dari berbagai jenis, seperti ikan, siput, cacing, dan serangga. Beberapa ada yang benar-benar herbivora dan hanya makan rumput, tanaman berdaun, bunga, buah-buahan, dan bahkan kaktus. Beberapa yang khusus yaitu penyu belimbing dan penyu sisik makan ubur-ubur, bahkan yang beracun. Beberapa kura-kura memiliki pengembangan rahang yang kuat untuk menghancurkan cangkang moluska. Kura-kura tidak memiliki gigi. Sebaliknya, mereka memiliki mulut bertulang mengeras dengan tepi yang tajam yang mereka gunakan untuk menggigit, seperti paruh burung.

Semua penyu dan kura-kura berbiak dengan bertelur (ovipar), dan menguburnya dalam tanah, pasir, atau vegetasi di tepi sungai atau laut. Beberapa spesies hanya bertelur sedikit yang berbentuk telur lonjong, ada yang bertelur puluhan hingga 100 atau lebih telur bulat. Setelah telur diletakkan, tukik (anakan) akan menetas sendiri dengan bantuan panas matahari, induknya tidak mengerami atau merawat telur dan tukiknya (kecuali kura-kura coklat menjaga sarangnya dari predator). Telur penyu menetas kurang lebih setelah dua bulan (50-70 hari) tersimpan di pasir. Tukik memiliki gigi telur yang digunakan untuk keluar dari cangkang. Setelah itu, mereka harus mencari makanan sendiri. Bagi banyak spesies, suhu dalam sarang menentukan jenis kelamin tukik, sarang hangat (suhu di atas rata-rata) menghasilkan lebih banyak betina, yang dingin (suhu di bawah rata-rata) menghasilkan lebih banyak jantan.

Fakta tentang kura-kura 

Umur bisa mencapai 150 tahun atau lebih untuk spesies darat, spesies akuatik biasanya lebih kecil sekitar 70 tahun. Jumlah telur yang dikeluarkan antara 1 sampai 200 butir atau lebih, tergantung spesies. Masa inkubasi 45 hari sampai diatas 18 bulan, tergantung spesies. Umur kematangan 5 sampai 25 tahun, tergantung spesies. Ukuran terpanjang adalah penyu belimbing (Dermochelys coriacea), dengan panjang karapas 8 feet (2.4 meter). Ukuran terpendek kura-kura Afrika Selatan (speckled Cape tortoise, Homopus signatus), dengan panjang karapas 3.1 inchi (7.9 cm). Paling berat penyu belimbing 1,800 pound (817 kg). Paling ringan kura-kura Afrika Selatan 5 ounce (142 gr). Ukuran saat menetas 1 sampai 3 inchi (25 sampai 76 mm), tergantung spesies. 

Kini anda bisa membedakan antara kura-kura, penyu, dan labi-labi (bulus) antara lain dilihat dari habitatnya, makanannya, ukuran tubuhnya, cangkangnya serta kemampuannya menarik kepala kedalam cangkangnya. Setelah kita memahami  kenyataan bahwa bangsa kura-kura adalah reptil yang menakjubkan, mestinya kita setuju bahwa upaya konservasi untuk menyelamatkan mereka dari kepunahan adalah penting, sehingga mereka akan tetap ada di sekitar kita untuk waktu yang tak terbatas.

-- (Disusun dari berbagai sumber) –

-- Trisno Utomo, pecinta perikanan, kelautan dan lingkungan

Jumat, 21 Agustus 2015

CORAL BLEACHING, ANCAMAN TERHADAP EKOSISTEM TERUMBU KARANG

  
Karang yang mengalami pemutihan
 
Seperti kita ketahui, bahwa ada tiga ekosistem biotik yang sangat penting di wilayah pesisir, yaitu terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Kondisi ketiga ekosistem tersebut di Jawa Tengah pada saat ini memiliki kecenderungan mengalami degradasi secara terus menerus, sehingga fungsi ekologisnya yang sangat penting menjadi menurun. Kerusakan wilayah pesisir dengan ekosistemnya tersebut disebabkan oleh faktor alam maupun manusia, tetapi faktor manusia adalah penyebab kerusakan yang paling dominan.

Pada ekosistem terumbu karang, terjadi jenis kerusakan yang relatif baru, yaitu berupa pemutihan karang (coral bleaching). Pemutihan karang adalah perubahan warna pada jaringan karang dari warna alaminya yang kecoklat-coklatan atau kehijau-hijauan, menjadi warna putih pucat. Pemutihan karang dapat mengakibatkan kematian pada karang.

Peristiwa pemutihan karang yang terjadi, telah diamati oleh peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) antara bulan Maret dan Mei 1983, dimana terjadi pemutihan karang besar-besaran dengan tingkat kematian yang luas mulai dari Selat Sunda (Jawa Barat), Kepulauan Seribu (Jakarta), sampai Kepulauan Karimunjawa (Jawa Tengah). Kemudian terjadi lagi peristiwa pemutihan karang secara global pada tahun 1998, dimana lebih dari 55 negara mengalami tingkat pemutihan dan kematian karang yang tinggi. Sebanyak 90% karang mati akibat pemutihan pada 1998 di Sumatera Barat dan Kepulauan Gili, Lombok. Karang di wilayah Indonesia yang lain juga banyak yang terkena pemutihan. 

Faktor Penyebab

Hilangnya alga simbiotik yang bernama zooxanthellae, yang banyak sekali hidup di jaringan karang, atau hilangnya pigmen warna yang memberikan warna pada karang, dapat menyebabkan pemutihan pada karang. Tanpa zooxanthellae tersebut, karang tidak dapat bertahan hidup lebih lama.

Seperti diketahui, sebagian besar dari karang adalah binatang-binatang kecil (disebut polip), yang hidup berkoloni dan membentuk terumbu. Mereka mendapatkan makanannya melalui dua cara : pertama, dengan menggunakan tentakel mereka untuk menangkap plankton, dan kedua, melalui alga kecil (disebut zooxanthellae) yang hidup di jaringan karang. Zooxanthellae ditemukan dalam jumlah besar dalam setiap polip, mereka hidup bersimbiosis, memberikan warna pada polip, energi dari fotosintesa dan sekitar 90% kebutuhan karbon polip. Zooxanthellae juga menerima nutrisi-nutrisi penting dari karang, dan memberikan sebanyak 95% dari hasil fotosintesisnya (energi dan nutrisi) kepada karang. 

Dapat dikatakan, penyebab utama terjadinya pemutihan karang adalah akibat ulah manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan manusia yang langsung merupakan penyebab antara lain sedimentasi, polusi, dan penangkapan ikan dengan bahan peledak. Sedangkan yang tidak langsung, yang membuat pemutihan karang ini terjadi secara mengglobal, adalah pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim. 

Bahwa perubahan iklim adalah merupakan penyebab utama peristiwa pemutihan terumbu karang pada saat ini. Perubahan iklim yang menyebabkan peningkatan suhu permukaan laut dan tingkat sinar ultraviolet matahari, akan menghilangkan alga yang bersimbiosis (zooxanthellae) yang merupakan tempat bergantungnya polip karang untuk mendapatkan makanan. Keadaan pemutihan yang terlalu lama (lebih dari 10 minggu), dapat menyebabkan kematian polip karang tersebut. Karang dapat hidup dalam batas toleransi suhu berkisar dari 20 sampai 30oC. Suhu kritis yang dapat menyebabkan karang memutih tergantung dari penyesuaian karang tersebut terhadap suhu air laut rata-rata di daerah dimana ia hidup. Karang cenderung memutih apabila suhu meningkat tajam dalam waktu yang singkat, atau suhu meningkat perlahan-lahan dalam jangka waktu yang panjang. 

Dampak gabungan dari tingginya suhu permukaan laut dan tingginya tingkat sinar matahari (pada gelombang panjang ultraviolet), dapat mempercepat proses pemutihan dengan mengalahkan mekanisme alami karang untuk melindungi dirinya sendiri dari sinar matahari yang berlebihan. Hasil penelitian terbaru oleh tim peneliti yang dipimpin Profesor Don Levitan, Ketua Departemen Ilmu Biologi Florida State University, menyebutkan bahwa suatu proses dimana suhu air tinggi atau sinar UV akan dapat menekan karang ke titik di mana ia akan kehilangan partner alga simbiotik yang memberi pigmen warna pada karang, dan juga mempengaruhi kesuburan karang dalam jangka panjang. Rata-rata, karang membutuhkan waktu 3-4 tahun untuk pulih dari pemutihan. "Bahkan jika kita dapat memperbaiki apa yang menyebabkan karang tersebut, itupun akan sulit bagi populasi karang untuk pulih kembali, karena karang yang masih hidup tidak mungkin berhasil memproduksi cukup keturunan untuk mengembalikan populasi terumbu karang", katanya.

Sedangkan gangguan alami yang lain yang dapat menyebabkan pemutihan karang adalah perubahan salinitas secara tiba-tiba, kekurangan cahaya dalam jangka waktu yang lama, dan penyakit. 

Upaya Yang Perlu Dilakukan 

Beberapa karang dapat sembuh dan tumbuh normal lagi, ketika penyebab pemutihan hilang dan dapat mengumpulkan kembali zooxanthellae-nya. Karang akan kembali ke warna semula apabila penyebab pemutihan hilang, tetapi akan mati apabila penyebabnya terus berlangsung. Oleh karena itu, pemulihan karang dari pemutihan juga tergantung dari durasi dan tingkat gangguan lingkungan. 
Bahwa penyebab pemutihan karang yang utama adalah perubahan iklim, apabila perubahan iklim ini terus berlanjut seperti yang diperkirakan, maka peristiwa pemutihan karang akan menjadi lebih sering dan semakin parah sehingga, akan meningkatkan resiko bagi ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu, upaya pencegahan perubahan iklim adalah hal yang paling penting untuk dilakukan, dan itu adalah upaya yang tidak mudah. 

Dalam penanganan perubahan iklim, pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota diharapkan menyusun rencana aksi nasional untuk menghadapi perubahan iklim, hal ini disusun dengan tujuan dijadikan sebagai pedoman oleh berbagai instansi dalam melaksanakan upaya-upaya terkoordinasi dan terintegrasi untuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Penanganan terhadap dampak perubahan iklim tidak dapat dilakukan oleh segelintir sektor saja. Koordinasi antar instansi mutlak diperlukan demi menjamin keberhasilan Indonesia dalam melakukan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Perubahan iklim dan dampaknya merupakan masalah yang kompleks dan dinamis. 

Indonesia telah melakukan beberapa upaya untuk mengimplementasikan konvensi dan protokol dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim, yang meliputi mitigasi dan adaptasi. Mitigasi pada dasarnya merupakan usaha penanggulangan untuk mencegah terjadinya perubahan iklim yang semakin buruk, sedangkan adaptasi merupakan upaya penyesuaian pola hidup dan sarananya terhadap perubahan iklim.

Sedangkan beberapa upaya pengelolaan wilayah pesisir, yang dapat dilakukan untuk mencegah kerusakan terumbu karang yang lebih besar, antara lain : penerapan daerah perlindungan laut (DPL), pembatasan perikanan di areal terumbu karang, pariwisata ramah lingkungan, pengelolaan pesisir terpadu (PPT), dan restorasi terumbu karang. 

Sangat mendesak untuk melakukan penyelarasan wilayah-wilayah kebijakan publik serta instrumen hukum dan perundang-undangan yang terkait, khususnya dalam sektor-sektor mitigasi dan adaptasi prioritas pembangunan, termasuk sektor pengguna energi (seperti pembangkit listrik, industri, transportasi, serta domestik dan komersial), perdagangan, kehutanan, pertanian, perikanan/kelautan, pertambangan, dan infrastruktur. 

Bagaimanapun, kita harus tetap berupaya untuk memperbaiki dan melindungi ekosistem terumbu karang. Karena terumbu karang memberikan perlindungan dan tempat tinggal bagi banyak spesies ikan yang berbeda. Tanpa karang, ikan tertentu kehilangan tempat tinggal dan daerah untuk reproduksi. Mereka juga melindungi garis pantai dari gelombang besar dan banjir, yang merupakan masalah besar di daerah-daerah yang rawan badai tropis. Demikian juga usaha perikanan sangat tergantung hidupnya pada karang yang sehat. Penurunan produktivitas terumbu karang sekecil apapun akibat pemutihan, dapat memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi yang serius bagi masyarakat setempat yang bergantung pada sumber daya terumbu karang, mengingat justru orang-orang inilah yang seringkali hidup dibawah garis kemiskinan.

-- (Disusun dari berbagai sumber) --

--Trisno Utomo, pecinta perikanan, kelautan, dan lingkungan.