Jumat, 21 Agustus 2015

CORAL BLEACHING, ANCAMAN TERHADAP EKOSISTEM TERUMBU KARANG

  
Karang yang mengalami pemutihan
 
Seperti kita ketahui, bahwa ada tiga ekosistem biotik yang sangat penting di wilayah pesisir, yaitu terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Kondisi ketiga ekosistem tersebut di Jawa Tengah pada saat ini memiliki kecenderungan mengalami degradasi secara terus menerus, sehingga fungsi ekologisnya yang sangat penting menjadi menurun. Kerusakan wilayah pesisir dengan ekosistemnya tersebut disebabkan oleh faktor alam maupun manusia, tetapi faktor manusia adalah penyebab kerusakan yang paling dominan.

Pada ekosistem terumbu karang, terjadi jenis kerusakan yang relatif baru, yaitu berupa pemutihan karang (coral bleaching). Pemutihan karang adalah perubahan warna pada jaringan karang dari warna alaminya yang kecoklat-coklatan atau kehijau-hijauan, menjadi warna putih pucat. Pemutihan karang dapat mengakibatkan kematian pada karang.

Peristiwa pemutihan karang yang terjadi, telah diamati oleh peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) antara bulan Maret dan Mei 1983, dimana terjadi pemutihan karang besar-besaran dengan tingkat kematian yang luas mulai dari Selat Sunda (Jawa Barat), Kepulauan Seribu (Jakarta), sampai Kepulauan Karimunjawa (Jawa Tengah). Kemudian terjadi lagi peristiwa pemutihan karang secara global pada tahun 1998, dimana lebih dari 55 negara mengalami tingkat pemutihan dan kematian karang yang tinggi. Sebanyak 90% karang mati akibat pemutihan pada 1998 di Sumatera Barat dan Kepulauan Gili, Lombok. Karang di wilayah Indonesia yang lain juga banyak yang terkena pemutihan. 

Faktor Penyebab

Hilangnya alga simbiotik yang bernama zooxanthellae, yang banyak sekali hidup di jaringan karang, atau hilangnya pigmen warna yang memberikan warna pada karang, dapat menyebabkan pemutihan pada karang. Tanpa zooxanthellae tersebut, karang tidak dapat bertahan hidup lebih lama.

Seperti diketahui, sebagian besar dari karang adalah binatang-binatang kecil (disebut polip), yang hidup berkoloni dan membentuk terumbu. Mereka mendapatkan makanannya melalui dua cara : pertama, dengan menggunakan tentakel mereka untuk menangkap plankton, dan kedua, melalui alga kecil (disebut zooxanthellae) yang hidup di jaringan karang. Zooxanthellae ditemukan dalam jumlah besar dalam setiap polip, mereka hidup bersimbiosis, memberikan warna pada polip, energi dari fotosintesa dan sekitar 90% kebutuhan karbon polip. Zooxanthellae juga menerima nutrisi-nutrisi penting dari karang, dan memberikan sebanyak 95% dari hasil fotosintesisnya (energi dan nutrisi) kepada karang. 

Dapat dikatakan, penyebab utama terjadinya pemutihan karang adalah akibat ulah manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan manusia yang langsung merupakan penyebab antara lain sedimentasi, polusi, dan penangkapan ikan dengan bahan peledak. Sedangkan yang tidak langsung, yang membuat pemutihan karang ini terjadi secara mengglobal, adalah pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim. 

Bahwa perubahan iklim adalah merupakan penyebab utama peristiwa pemutihan terumbu karang pada saat ini. Perubahan iklim yang menyebabkan peningkatan suhu permukaan laut dan tingkat sinar ultraviolet matahari, akan menghilangkan alga yang bersimbiosis (zooxanthellae) yang merupakan tempat bergantungnya polip karang untuk mendapatkan makanan. Keadaan pemutihan yang terlalu lama (lebih dari 10 minggu), dapat menyebabkan kematian polip karang tersebut. Karang dapat hidup dalam batas toleransi suhu berkisar dari 20 sampai 30oC. Suhu kritis yang dapat menyebabkan karang memutih tergantung dari penyesuaian karang tersebut terhadap suhu air laut rata-rata di daerah dimana ia hidup. Karang cenderung memutih apabila suhu meningkat tajam dalam waktu yang singkat, atau suhu meningkat perlahan-lahan dalam jangka waktu yang panjang. 

Dampak gabungan dari tingginya suhu permukaan laut dan tingginya tingkat sinar matahari (pada gelombang panjang ultraviolet), dapat mempercepat proses pemutihan dengan mengalahkan mekanisme alami karang untuk melindungi dirinya sendiri dari sinar matahari yang berlebihan. Hasil penelitian terbaru oleh tim peneliti yang dipimpin Profesor Don Levitan, Ketua Departemen Ilmu Biologi Florida State University, menyebutkan bahwa suatu proses dimana suhu air tinggi atau sinar UV akan dapat menekan karang ke titik di mana ia akan kehilangan partner alga simbiotik yang memberi pigmen warna pada karang, dan juga mempengaruhi kesuburan karang dalam jangka panjang. Rata-rata, karang membutuhkan waktu 3-4 tahun untuk pulih dari pemutihan. "Bahkan jika kita dapat memperbaiki apa yang menyebabkan karang tersebut, itupun akan sulit bagi populasi karang untuk pulih kembali, karena karang yang masih hidup tidak mungkin berhasil memproduksi cukup keturunan untuk mengembalikan populasi terumbu karang", katanya.

Sedangkan gangguan alami yang lain yang dapat menyebabkan pemutihan karang adalah perubahan salinitas secara tiba-tiba, kekurangan cahaya dalam jangka waktu yang lama, dan penyakit. 

Upaya Yang Perlu Dilakukan 

Beberapa karang dapat sembuh dan tumbuh normal lagi, ketika penyebab pemutihan hilang dan dapat mengumpulkan kembali zooxanthellae-nya. Karang akan kembali ke warna semula apabila penyebab pemutihan hilang, tetapi akan mati apabila penyebabnya terus berlangsung. Oleh karena itu, pemulihan karang dari pemutihan juga tergantung dari durasi dan tingkat gangguan lingkungan. 
Bahwa penyebab pemutihan karang yang utama adalah perubahan iklim, apabila perubahan iklim ini terus berlanjut seperti yang diperkirakan, maka peristiwa pemutihan karang akan menjadi lebih sering dan semakin parah sehingga, akan meningkatkan resiko bagi ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu, upaya pencegahan perubahan iklim adalah hal yang paling penting untuk dilakukan, dan itu adalah upaya yang tidak mudah. 

Dalam penanganan perubahan iklim, pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota diharapkan menyusun rencana aksi nasional untuk menghadapi perubahan iklim, hal ini disusun dengan tujuan dijadikan sebagai pedoman oleh berbagai instansi dalam melaksanakan upaya-upaya terkoordinasi dan terintegrasi untuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Penanganan terhadap dampak perubahan iklim tidak dapat dilakukan oleh segelintir sektor saja. Koordinasi antar instansi mutlak diperlukan demi menjamin keberhasilan Indonesia dalam melakukan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Perubahan iklim dan dampaknya merupakan masalah yang kompleks dan dinamis. 

Indonesia telah melakukan beberapa upaya untuk mengimplementasikan konvensi dan protokol dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim, yang meliputi mitigasi dan adaptasi. Mitigasi pada dasarnya merupakan usaha penanggulangan untuk mencegah terjadinya perubahan iklim yang semakin buruk, sedangkan adaptasi merupakan upaya penyesuaian pola hidup dan sarananya terhadap perubahan iklim.

Sedangkan beberapa upaya pengelolaan wilayah pesisir, yang dapat dilakukan untuk mencegah kerusakan terumbu karang yang lebih besar, antara lain : penerapan daerah perlindungan laut (DPL), pembatasan perikanan di areal terumbu karang, pariwisata ramah lingkungan, pengelolaan pesisir terpadu (PPT), dan restorasi terumbu karang. 

Sangat mendesak untuk melakukan penyelarasan wilayah-wilayah kebijakan publik serta instrumen hukum dan perundang-undangan yang terkait, khususnya dalam sektor-sektor mitigasi dan adaptasi prioritas pembangunan, termasuk sektor pengguna energi (seperti pembangkit listrik, industri, transportasi, serta domestik dan komersial), perdagangan, kehutanan, pertanian, perikanan/kelautan, pertambangan, dan infrastruktur. 

Bagaimanapun, kita harus tetap berupaya untuk memperbaiki dan melindungi ekosistem terumbu karang. Karena terumbu karang memberikan perlindungan dan tempat tinggal bagi banyak spesies ikan yang berbeda. Tanpa karang, ikan tertentu kehilangan tempat tinggal dan daerah untuk reproduksi. Mereka juga melindungi garis pantai dari gelombang besar dan banjir, yang merupakan masalah besar di daerah-daerah yang rawan badai tropis. Demikian juga usaha perikanan sangat tergantung hidupnya pada karang yang sehat. Penurunan produktivitas terumbu karang sekecil apapun akibat pemutihan, dapat memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi yang serius bagi masyarakat setempat yang bergantung pada sumber daya terumbu karang, mengingat justru orang-orang inilah yang seringkali hidup dibawah garis kemiskinan.

-- (Disusun dari berbagai sumber) --

--Trisno Utomo, pecinta perikanan, kelautan, dan lingkungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar